fbpx

Penutupan Lapintrinas Menwa Jayakarta Tahun 2021, Ariza Tekankan Seni Kepemimpinan

Jakarta – Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Ariza Patria menghadiri acara penutupan Latihan Kepemimpinan Putri Nasional (Lapintrinas) Resimen Mahasiswa Jayakarta Tahun 2021 di Aula Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Minggu (24/10). Dia menyampaikan pesan persatuan, pembangunan SDM, hingga seni kepemimpinan.

“Kegiatan ini menegaskan komitmen Menwa Jayakarta dalam menjaga tegaknya rasa persatuan dan kesatuan bangsa juga komitmen meningkatkan dan memajukan kualitas SDM di era digital yang semakin kompetitif dan borderless (tanpa batas, Res),” katanya, mengawali sambutan.

Ariza menjelaskan, semakin berkualitas, semakin pintar, dan berkarakter SDM, maka semakin cerah pula masa depan bangsa. Untuk itu, diperlukan komitmen untuk sering menggelar kegiatan pelatihan leadership seperti itu.

“Terkhusus untuk perempuan, kiranya sangat dibutuhkan. Saya sangat senang dan bangga pada seluruh tim Menwa Jayakarta, dan semua yang hadir di sini. Insya Allah pengurus dan anggota Menwa Jayakarta, khususnya kaum perempuan, dengan pelatihan kepemimpinan ini menjadi semakin baik, terbuka, dan maju,” ungkapnya.

“Pemimpin yang baik itu pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, sudah sudah selesai dengan hidupnya, keinginan dan kebutuhan diri/keluarga, tahu tentang passion hidup, visi hidup, plus-minus diri, kedisiplinan waktu, harmonis dengan keluarga, serta yang paling penting lurus antara ucapan dan perbuatan,” sambungnya.

Meminjam istilah Jim Collins, seorang pakar leadership dan penulis buku Good to Great, ciri Pemimpin Level 5, yaitu pemimpin yang memiliki kerendahan hati, sopan, santun, tapi pada saat yang bersamaan punya tekad baja dan pemberani.

Ariza berbagi cerita tentang spirit kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah Muhammad SAW. Suatu malam, Khalifah Umar mengajak asistennya (Aslam) untuk ronda keliling kota. Umar melihat sebuah pondok dengan tungku yang menyala di dalamnya. Seorang ibu terlihat seperti memasak. Umar juga mendengar suara anak-anak kecil sedang menangis di pondokan itu.

Khalifah Umar penasaran dan ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata, pertama, anak-anak kecil itu menangis karena kelaparan. Kedua, sang ibu tidak sedang memasak makanan, tapi memasak air dan batu hanya untuk mendiamkan anak-anaknya. Sungguh sangat memilukan!

Hati Umar langsung sangat sedih, bagaimana bisa ada rakyat yang kelaparan, malam-malam tidak bisa tidur hingga harus memasak batu hanya untuk menyenangkan anak-anak.

“Tapi bukan hanya itu yang ingin saya sampaikan di sini. Pertanyaannya, apa yang selanjutnya dilakukan Umar sebagai seorang pemimpin? Beliau langsung pergi ke Baitul Mal, kalau sekarang semacam kantor bendahara atau keuangan negara. Beliau mengambil dengan tangan sendiri, bahan makanan yang diperlukan oleh ibu dan anak-anak yang kelaparan itu, lalu menyerahkan sendiri tanpa bantuan Aslam,” jelasnya.

Ariza melanjutkan, ada dua hal yang bisa dipelajari dari cerita tersebut. Pertama, memimpin itu tindakan. Tidak hanya menerima laporan dan berteori di menara gading! Memimpin itu action!

Seorang pemimpin harus siap di segala medan, turun ke bawah, punya kepedulian tinggi, dan tahu secara langsung keadaan orang-orang yang dipimpin. Tanpa itu, bukan pemimpin!

Kedua, memimpin itu amanah dan tanggung jawab. Pertanggungjawaban kepemimpinan  bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.  Kelak di akhirat pemimpin akan ditanya, “Apa saja yang dilakukan waktu memimpin?” Artinya, sambung Ariza, memimpin itu tidak ringan.

Tak heran jika seorang tokoh nasional Indonesia, Agus Salim mengatakan “Leiden is Lijden”. Artinya, memimpin adalah menderita!  Kerelaan pemimpin untuk hidup menderita demi rakyat, tak berarti menjadi pemimpin pasti menderita. Itu hanya filosofi.

Filosofi Leiden is Lijden adalah salah satu pilihan jalan pengabdian yang biasa dilalui oleh mereka yang paham bahwa kebahagiaan rakyat yang dipimpin lebih utama dibanding pemimpin. Dalam praktik, filosofi ini dioperasionalkan menjadi keharusan bahwa ketika tugas kepemimpinan dimulai, maka kepentingan pribadi dan keluarga harus dilepaskan.

Dia mengatakan, filosofi memimpin dengan manajemen ala Leiden is Lijden ini memang terasa berat untuk dijalankan, apalagi saat ini, karena mengandung keharusan yang merisaukan,  terutama bagi mereka yang memandang kepemimpinan sebagai kekuasaan atau jalan kemakmuran.

“Di sini pentingnya kita belajar dari sejarah dan masa lalu. Bukan berarti kalau sekarang jenis kepemimpinan seperti Agus Salim itu jarang terlihat, bahkan tidak ada, maka berarti tidak bisa diikuti. Justru itulah kepemimpinan yang benar dan sejati yang harus kita tiru,” kata Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi DKI Jakarta itu. (arizapatria.id)

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Close
Close